RSS

Fana dan Baqa


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Akhlak Tasawuf merupakan disiplin ilmu murni dalam Islam. Akhlak dan Tasawuf mempunyai hubungan yang sangat erat. Sebelum Bertasawuf, seseorang harus berakhlak sehingga bisa dikatakan bahwasannya tasawuf adalah puncaknya akhlak (tasawuf nihayatul akhlak) sedangkan akhlak adalah permulaan tasawuf (akhlaqu bidayatut tasawuf). Dalam tasawuf digunakan pendekatan suprarasional yaitu dengan intuisi. Intuisi disini maksudnya adalah mengosongkan diri dari dosa. Ditinjau dari paradigm pengalamannya, tasawuf terbagi menjadi tasawuf Salaf, tasawuf Suni, an tasawuf Falsafi. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang Fana dan Baqa yang merupkan salah satu komponen dari tasawuf Suni.
1.2 Rumusan Masalah
Pembahasan tentang Fana dan Baqa amatlah Luas. Namun dalam makalah ini kami hanya membatasi pembahasan kami pada :
1.      Pengertian Fana dan Baqa
2.      Konsep Fana dan Baqa menurut beberap Tokoh
3.      Proses Al-Fana
4.      Abu Yazid Al-Bustami
5.      Tujuan serta kedudukan Fana serta Baqa
6.      Tokoh yang mengembangkan Fana dan Baqa
7.      Fana dan Baqa dalam pandangan Al-Qur’an
1.3  Tujuan
Adapun tujuan penyususnan makalah ini adalah :
1, Untuk memenuhi tugas mata uliah Tasawuf
2. Mahasiswa memahami konsep Fana dan Baqa
3. Mahasiswa berusaha untuk mensucikan diri dari dosa

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Fana dan Baqa
Fana artinya hilang atau hancur. Fana adalah Proses menghancurkan diri bagi seorang sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan. Kalau seorang sufi ingin mencaai puncak ittihad, maka tahapan Fana merupakan bagian yang tidk dapat ditinggalkan oleh seorang sufi. Sedangkan makna yang dimaksud dari Fana adalah menghilangkan segala yang berbentuk materi maupun sifat-sifat perbuatan jahat atau kemaksiatan. Setelah perbuatan buruk hilang, maka tinggallah sifat-sifat yang baik saja.
Sementara itu, konsep Baqa adalah kelanjutan dari Fana yang berarti tetap, terus hidup, sesuatu yang tetap dan memiliki substansi yang sangat esensial. Sesuati yang esensial adalah bagian apa sesungguhnya ada pada diri Tuhan itu, Jadi konsep baqa dalam hal in adalah sesuatu sifat baik.
Dari segi Bahasa Fana berarti hilangnya wujud sesuatu, sedangkan Fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri.
2.2 Konsep Fana dan Baqa menurut beberapa tokoh
1. Al-Qusyari
Fana adalah gugurnya sifat-sifat tercela, sedangkan Baqa adalah berdirinya sifat-sifat terpuji
2. Junaid al-Baghdadi
Tauhid bisa dicapai dengan membuat diri Fana dari dirinya sendiri dan alam sekitarnya, sehingga keinginannya dikendalikan oleh Allah.
3. Ibnu ‘Arabi
Fana dalam pengertian mistik adalah hilangnya ketidak tahuan dan Baqa pengetahuan yang pasti atau sejati yang diperoleh dengan intuisi mengenai kesatuan esensial dari keseluruhan ini.
Fana dalam pengertian metafisika adalah hilangnya bentuk-bentuk dunia fenomena dan berlanjutnya substansi universal yang tunggal. Hal ini ia simpulkan dengan hilangnya sesuatu bentuk pada saat Tuhan memanifestasikan (tajalli) diri-Nya dalam bentuk lain.
4. E.A. Afifi
Pemikiran Fana dan Baqa dapat dibagi ke dalam tahapan-tahapan sebagai berikut :
a.       Sufi menjauhkan dirinya dari dosa (al-Fana’’an al-ma’asi)
b.      Memfana’kan dirinya dari semua perbuatan (af’al) apapun, ia hanya menyadari bahwa Tuhan sendirilah satu-satunya pelaku segala perbuatan (af’al) di alam mini.
c.       Memfana’kan dirinya dari sifat-sifat dan kualitas wujud yang bersifat mungkin, sebab semuanya merupakaan kepunyaan Allah.
d.      Memfana’kan personalitas atau dzat dirinya sendiri, ia menyadari dengan sungguh-sungguh ketidakberadaan dari fenomena dirinya serta baqa di dalam substansi yang tidak berubah dan tidak hancur yang merupakan esensinya.
e.       Sufi mlepaskan semua sifat-sifat Tuhan serta hubungannya, yaitu ia lebih memandang Tuhan sebagai esensi dari ala mini daripada sebagai sebab, sebagaimana pendapat para filosof. Maksudnya Si sufi tidak menganggap ala mini sebagi akibat dari satu sebab, melainkan sebagai suatu realitas dalam pemunculan Tuhan (Al-Haqq fid dzuhur).
Pada tahap kelima inilah sebagai tujuan akhir dari semua upaya para sufi di dalam latihan mistik wahdatul wujud, yakni berupa kesadaran penuh terhadap esensi dari semua yang ada, dan sekaligus sebagai pelaksanaan fana dan baqa.
5. Muhammad Nafis
Maqam Fana adalah musyahadah secara bertahap dari maqam ke maqam selanjutnya, adalah sebagai berikut sebagai berikut :
a.       Maqam Tauhid al-Af’al
b.      Maqam Tauhidal-Asma’
c.       Maqam Tauhid al-shifat
d.      Maqam Tauhid al-Dzat
Kemudian Muhammad Nafis menjelaskan bahwa maqam Baqa lebih tinggi dari maqam fana. Maqam fana sirna dibawah Ahdiyat Allah, sedangkan maqam baqa kekal dengan wahdiyat Allah. Dengan kata lain, maqam fana itu memandang bahwa yang maujud hanya Allah, sedangkan maqam Baqa memandang ke-Dia-an Allah dan kemandirian-Nya meliputi segala yang ada (zarrat al-wujud). Dengan harmonis dia padukan pandangan wahdat al-Syuhud dengan wahdat al-Wujud, yaitu memandang alam semesta yang serba  majemuk ini sebagai penampakan dari wujud Tuhan. Fana dan Baqa melalui proses yang berasal dari ma’rifat dapat menyampaikan pada Kasyaf, yakni terbukanya hakikat sesuatu bagi sufi, kasyaf dapat menyampaikan Fana. Fana menyampaikan pada Fana al-Fana, yaitu Sufi tidak melihat dan tidak merasakan bahwa dia sendiri yang memfana’kan dirinya, yang dia lihat dan rasakan adalah Allah yang memfana’kan dirinya. Dan Fana al-Fana inilah yang mengantarkan ke tingkat Baqa.
 6.R. A. Nicholson dalam bukunya The Mystics of Islam.
Ia mengatakan tentang tiga tingkat Fana yaitu perubahan moral, penghayatan jiwa, dan lenyapnya kesadaran. Dalam hal ini, Imam al- Ghazali yang membatasi sampai ke Fana tingkat dua, masih mempertahankan adanya perbedaan yang fundamental antara hamba yang melihat dengan Tuhan yang dilihatnya.
2.3 Proses Al-Fana
Dalam proses al-Fana ada empat situasi getaran psikis yang dialami seseorang, yaitu al-sakar, al-sathohat, al-zawal al-hijab dan ghalab al-syuhud.
1.      Al-Sakar
Situasi kejiwaan yang terpusat penuh kepada satu titik, sehingga ia melihat dengan perasaannya. Seperti yang dialami oleh Nabi Musa a.s di Turisina.
2.      Al-Sathohat
Sathohat berarti gerakan, sedangkan dalam istilah tasawuf dipahami sebagai suatu ucapan yang terlontar diluar kesadaran, kata-kata yang diucapkan dalam keadaan sakar.
3.      Al-Zawal al-Hijab
Diartikan dengan bebas dari dimensi, sehingga ia keluar dari alam materi dan telah berada dialam ilahiyat, sehingga getar jiwanya dapat menangkap gelombang cahaya dan suara Tuhan. Pengertian ini mirip dengan al-mukhasyafah.
4.      Ghalab al-Syuhud
Tingkat kesempurnaan musyahadah , pada tingkat mana ia lupa pada dirinya dan alam sekitarnya, yang diingat dan dirasa hanya Allah seutuhnya.[1]
2.4 Abu Yazid Al-Bustami
Abu Yazid al-Bustami merupakan orang yang pernah melakukan fana dan baqa dalam tasawuf. Kemauan dan keinginannya untk bersatu dengan Tuhan membawa ia pada jalan fana dan baqa. Pencapaian Abu yazid ke tahap fana terjadi setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah, seperti tampak dalam ceritanya,
Setelah Allah melihat kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-Nya. Mintalah kepadaku semua yang kau inginkan, kata-Nya. “Engkaulah yang aku inginkan.” Jawabku, “karena Engkau lebih utama daripada anugrah, lebih besar daripada kemurahan, dan melalui Engkau, aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu…..”[2]
Jalan menuju Fana menurut Abu yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Berikut ini adalah pengalaman mimpinya :
Aku melihat Tuhan, akupun bertanya: Tuhaku, apa jalannya untuk sampai kepada-Mu? Ia menjawab, “Tinggalkan dirimu dan datanglah””.
Abu Yazid sempat dituding sebagi orang gila akibat ucapan Abu Yazid yang hamper tidak ada perbedaan dengan Allah. Sebagai contoh :
Maha suci Aku, Maha suci Aku, Maha suci Aku”
 "Seorang lewat di rumah Abu Yazid dan mengetok pintu. Abu Yazid bertanya: "Siapa yang engkau cari?" Jawabnya: "Abu Yazid." Lalu Abu Yazid mengatakan: "Pergillah di rumah ini tak ada kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi."
Kata-kata serupa di atas, bukan diucapkan oleh AbuYazid sebagai kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu diucapkan melalui diri Tuhan dalam ittihad yang dicapainya dengan Tuhan. Dengan kata lain Abu Yazid tidaklah mengaku dirinya Tuhan.[3]




[1] Ibrahim Basyuni, op.;236,257.
[2] Ilmu Tasawuf, ; 160
[3] Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang, http://www.uin-malang.ac.id, konsep-al-fana-al-baqa-dan-al-ittihad/13-10-11/10.00

0 comments:

About Me

Foto Saya
Aulia
Kediri, Jawa Timur, Indonesia
Dosen dan Guru di kediri
Lihat profil lengkapku

Klik Kanan